Jumat, 10 April 2015

Mengubah waqaf musholla menjadi masjid

Sesuai Hasil Keputusan Muktamar NU ke-10 di
Surakarta Bulan April 1935, Bahwa Mushalla yang telah
diwakafkan tidak dapat menjadi masjid kalau tidak
diniatkan.
Referensi :
( ﻭﻻ ﻳﺼﺢ ‏) ﺍﻟﻮﻗﻒ ‏( ﺇﻻ ﺑﻠﻔﻆ ‏) ﻣﻦ ﻧﺎﻃﻖ ﻳﺸﻌﺮ ﺑﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ..
ﺗﻨﺒﻴﻪ ﻳﺴﺘﺜﻨﻰ ﻣﻦ ﺍﺷﺘﺮﺍﻁ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺑﻨﻰ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻓﻲ
ﻣﻮﺍﺕ ﻭﻧﻮﻯ ﺟﻌﻠﻪ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻴﺮ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﻟﻢ ﻳﺤﺘﺞ ﺇﻟﻰ
ﻟﻔﻆ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻠﻤﺎﻭﺭﺩﻱ ﻷﻥ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﻴﺔ
ﻣﻐﻨﻴﺎﻥ ﻫﻨﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻭﻭﺟﻬﻪ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻤﻮﺍﺕ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ
ﻓﻲ ﻣﻠﻚ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﻩ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﺣﺘﻴﺞ ﻟﻠﻔﻆ ﻹﺧﺮﺍﺝ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ
ﻣﻠﻜﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺻﺎﺭ ﻟﻠﺒﻨﺎﺀ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺗﺒﻌﺎ
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﺳﻨﻮﻱ ﻭﻗﻴﺎﺱ ﺫﻟﻚ ﺇﺟﺮﺍﺅﻩ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺃﻳﻀﺎ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﻭﺍﻟﺮﺑﻂ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻤﻮﺍﺕ
ﻳﺪﻝ ﻟﻪ
“Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang
mewakafkan) yang memberikan pengertian pewakafan
yang dimaksud...
Dikecualikan dari syarat pengucapan bila seorang
membangun masjid dilahan bebas, dan ia berniat
menjadikannya masjid maka bangunan tersebut menjadi
masjid dan tidak memerlukan ucapan pewakafan, hal ini
sebagaimana ungkapan Ibn Rif’ah dalam kitab al-
Kifaayah dengan mengikuti al-Mawardi “sebab aktifitas
membangun disertai niat menjadikannya masjid sudah
mencukupi pewakafan dari pebgucapan wakaf, as-
Subky memperkuatnya bahwa lahan bebas tersebut
tidak menjadi milik seseorang yang membukanya
sebagai masjid.
Diperlukannya pengucapan pewakafan tersebut untuk
mengecualikan lahan dari kepemilikan seseorang dan
untuk bangunannya diperlakukan hukum masjid karena
mengikuti lahannya”.
Al-Asnawy berpendapat “Dan hukum qiyas kasus
tersebut adalah pemberlakuannya pada selain masjid
yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren dan
selainnya”.
Pendapat ar-Rafi’i dalam bab Ihyaa’ al-Mawaat juga
menunjukkan demikian.
Mughni al-Muhtaaj II/382

( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻭﻗﻔﺘﻪ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﺍﻟﺦ ‏) ﺃﻱ ﻭﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﻭﻗﻔﺖ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻓﻬﻮ ﺻﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻟﻮﻗﻔﻴﺔ ‏( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻛﻨﺎﻳﺔ
ﻓﻲ ﺧﺼﻮﺹ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪﻳﺔ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ ﻧﻴﺘﻬﺎ ‏) ﻓﺈﻥ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪﻳﺔ
ﺻﺎﺭ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﺇﻻ ﺻﺎﺭ ﻭﻗﻔﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻘﻂ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ
ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻛﺎﻟﻤﺪﺭﺳﺔ

(Ungkapan Syekh zainuddin al-Malibari “Saya
mewakafkannya untuk shalat”) yakni si pewakaf
berkata “saya mewakafkan tempat ini untuk shalat”
maka ucapan tersebut termasuk sharih (jelas) dalam
kemutlakan wakaf.
(Ungkapan beliau “Dan kinayah dalam kekhususannya
sebagai masjid, maka harus ada niat untuk menjadikan
nya masjid”) Jika ia berniat menjadikannya masjid
maka tempat tersebut menjadi masjid, jika tidak maka
hanya menjadi wakaf untuk shalat saja dan tidak
menjadi masjid seperti sekolahan.
I’aanah at-Thoolibiin III/160

-----
Permasalahan mengubah bentuk dan fungsi barang
waqaf dalam mazhab syafi'i sangatlah ketat, dalam arti
mazhab syafi'i sangat hati-hati dalam memberikan
keabsahan perubahan bentuk dan fungsi barang wakaf.
Beberapa pendapat di antaranya Imam al-Nawawi
dalam kitab raudlah Kitab al-waqf bab al-tsani fasal
masail mantsurah:
Tidak boleh mengubah fungsi (barang) waqaf. Maka
tidak diperbolehkan (waqaf) rumah menjadi (waqaf)
kebun ataupun tempat pemandian, dan sebaliknya.
Kecuali jika orang yang waqaf memasrahkan apa yang
dipandang maslahah bagi kepentingan wakaf. Dalam
fatwa imam al-Qaffal menyatakan: boleh menjadikan
(waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti.
Barangkali pengertiannya adalah merubah bentuk bukan
fungsi.

ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻐﻴﻴﺮ ﺍﻟﻮﻗﻒ ﻋﻦ ﻫﻴﺌﺘﻪ ، ﻓﻼ ﺗﺠﻌﻞ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﺑﺴﺘﺎﻧﺎ ، ﻭﻻ
ﺣﻤﺎﻣﺎ ، ﻭﻻ ﺑﺎﻟﻌﻜﺲ ، ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺎﻇﺮ ﻣﺎ ﻳﺮﻯ
ﻓﻴﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻠﻮﻗﻒ ، ﻭﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ : ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ
ﺣﺎﻧﻮﺕ ﺍﻟﻘﺼﺎﺭﻳﻦ ﻟﻠﺨﺒﺎﺯﻳﻦ ، ﻓﻜﺄﻧﻪ ﺍﺣﺘﻤﻞ ﺗﻐﻴﻴﺮ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺩﻭﻥ
ﺍﻟﺠﻨﺲ

Imam Muhammad bin Syihabuddin al-Ramly dalam
Nihayatul muhtaj Kitab al-waqf fasal fi ahkam al-waqf
al-ma'nawiyyah mengatakan:
Pengelola waqaf boleh merubah (menyelaraskan)
bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi meskipun
sekat-sekat, dan tidak boleh merubah fungsi seperti
menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya
selama waqif tidak mensyaratkan satu tindakan untuk
kemaslahatan, (jika waqif mensyaratkan satu tindakan
tertentu) maka boleh merubah fungsi dengan
mempertimbangkan maslahah. Imam al-subky berkata:
permasalahan yang saya lihat adalah mengubah benda
waqaf menjadi yang lain, tetapi dengan tiga syarat :
perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma
(esensi dari nama suatu benda), dan tidak menghilang
kan sekecil apapun dari bendanya, bahkan boleh
memindahkan ke arah yang lain, dan (syaratnya) itu
kemaslahatan wakaf.

ﻭﻷﻫﻞ ﺍﻟﻮﻗﻒ ﺍﻟﻤﻬﺎﻳﺄﺓ ﻻ ﻗﺴﻤﺘﻪ ﻭﻟﻮ ﺇﻓﺮﺍﺯﺍ ﻭﻻ ﺗﻐﻴﻴﺮﻩ ﻛﺠﻌﻞ
ﺍﻟﺒﺴﺘﺎﻥ ﺩﺍﺭﺍ ﻭﻋﻜﺴﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺮﻁ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﺔ
ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺗﻐﻴﻴﺮﻩ ﺑﺤﺴﺒﻬﺎ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ : ﻭﺍﻟﺬﻱ ﺃﺭﺍﻩ ﺗﻐﻴﻴﺮﻩ ﻓﻲ
ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻟﻜﻦ ﺑﺜﻼﺛﺔ ﺷﺮﻭﻁ : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻳﺴﻴﺮﺍ ﻻ ﻳﻐﻴﺮ ﻣﺴﻤﺎﻩ ،
ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺰﻳﻞ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﻋﻴﻨﻪ ﺑﻞ ﻳﻨﻘﻠﻪ ﻣﻦ ﺟﺎﻧﺐ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮ ، ﻭﺃﻥ
ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻭﻗﻒ .

Dari dua redaksi di atas (raudlah dan nihayah) tampak
bahwa diawali dengan tidak bolehnya merubah (fungsi)
benda wakaf, melainkan dengan syarat kemaslahatan
yang diberikan waqif. Hanya saja, kemudian diikuti
dengan pendapat bahwa yang dimaksudkan itu bukan
fungsinya melainkan bentuknya.
Dititik ini, kesimpulannya mengubah fungsi itu tidak
boleh seperti mengubah rumah (fungsi tempat tinggal)
menjadi kebun (fungsi tempat bercocok-tanam), akan
tetapi jika merubah bentuk tanpa merubah fungsi itu
boleh dengan adanya persyaratan dari waqif, seperti
merubah bentuk tempat potong rambut menjadi toko
roti dimana fungsinya sama-sama sebagai tempat
usaha.
Selanjutnya, apakah mushalla dan masjid itu satu
fungsi dan satu makna yang sama ?
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia
adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat;
sajadah. Silahkan rujuk KBBI.
Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah
definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat
indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI)
adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat,
tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau;
musala.
Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk
merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang
khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau
bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.
Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-
Baqarah 125:

ﻭﺇﺫ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻣﺜﺎﺑﺔ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺃﻣﻨﺎ ﻭﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﻡ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ
ﻣﺼﻠﻰ

Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata
'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai
kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan
batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara
keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartika
n sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan
untuk shalat.
Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh
al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat
entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan
untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda ,
"telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺰﺟﺎﺝ : ﻛﻞ ﻣﻮﺿﻊ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﻓﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺴﺠَِﺪ، ﺃَﻻ ﺗﺮﻯ ﺃَﻥ
ﺍﻟﻨﺒﻲ، ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻗﺎﻝ : ﺟﻌﻠﺖ ﻟﻲ ﺍﻷَﺭﺽ ﻣﺴﺠﺪﺍً
ﻭﻃﻬﻮﺭﺍً .
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya
arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun,
penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih)
mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam
mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai
tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang
diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana
orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ?
Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma')
yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya
tetaplah sebagai tempat shalat ?
Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang
sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi
masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-
asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan
nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk
kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh
jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak
boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi
keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.
Kesimpulan saya, mengubah mushala menjadi masjid,
dengan syarat waqif mempersyaratkan satu
kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir , dan
nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar
mendesak, maka itu boleh. Sebaliknya, mengubah
masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang
jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat
itu tidak boleh.
WALLAHU a'lam.

-----
Kembali saya ambilkan jawaban Imam Ghazali :
ﻭﻧﻘﻞ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ : ﻋﻦ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﺍﻧﻪ ﺳﻯٔﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺼﻠﻰ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻨﻲ
ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﻓﻘﺎﻝ : ﻻ ﻳﺜﺒﺖ ﻟﻪ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻰ
ﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻭﻣﻜﺚ ﺍﻟﺠﻨﺐ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ، ﻻٔﻥ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻫﻮ
ﺍﻟﺬﻱ ﺍٔﻋﺪ ﻟﺮﻭﺍﺗﺐ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻋﻴﻦ ﻟﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﻓﻰ
ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻭﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻌﺪ ﻟﻼﺟﺘﻤﺎﻋﺎﺕ ﻭﻟﻨﺰﻭﻝ ﺍﻟﻘﻮﺍﻓﻞ
ﻭﻟﺮﻛﻮﺏ ﺍﻟﺪﻭﺍﺏ ﻭﻟﻌﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ، ﻭﻟﻢ ﺗﺠﺮ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺑﻤﻨﻊ
ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺫﺍﻟﻚ ﻓﻴﻪ، ﻭﻟﻮ ﺍﻋﺘﻘﺪﻭﻩ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻟﺼﺎﻧﻮﻩ ﻋﻦ ﻫﺬﻩ
ﺍﻻﺳﺒﺎﺏ ﻭﻟﻘﺼﺪ ﻻﻗﺎﻣﺔ ﺳﺎﻯٔﺮ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ، ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺗﻄﻮﻉ
ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﻜﺜﺮ ﺗﻜﺮﺭﻩ ﺑﻞ ﻳﺒﻨﻰ ﻟﻘﺼﺪ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ، ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﺗﻘﻊ ﻓﻴﻪ
ﺑﺎﻟﺘﺒﻊ
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali
bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang
dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka
beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum
masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub
dan hukum2 lainnya
KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN
UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN
UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK
KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED
DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN
MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN
TEMPAT NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK2.
dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut
di musholla ied.
JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA
AKAN DIJAGA DARI SEBAB2 TERSEBUT DAN ADA NIAT
UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.
dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak
berulangnya dan pembangunan musholla tersebut
hanya untuk bisa mengumpulkan orang2 sedangkan
shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.
Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan :
JIKA MUSHOLLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA
RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN
TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN,
DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN
FUNGSI MASJID.
MAKA....
PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM2 MASJID,
alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub
berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid
meski sebutannya musholla.9
========================================
====================
KESIMPULAN :
Musyawirin PISS berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama
secara mutlak TIDAK BOLEH mengubah status waqaf
musholla di ubah menjadi masjid.
Pendapat kedua
ditafshil dahulu definisi musholla dimaksud :
a. Jika musholla tersebut dalam makna tempat yang
bisa digunakan shalat tetapi tidak digunakan secara
rutin dan dipakai untuk kegiatan selain masjidiyyah,
semisal musholla Ied (lapangan)/aula/gedung
serbaguna, maka TIDAK BOLEH mengubah status
waqafnya menjadi masjid. Alasannya sama dengan
pendapat pertama.
b. Jika musholla tersebut dalam makna masjid kecil
yang tak dipakai jum'atan sebagaimana difahami
sebagian besar masyarakat maka BOLEH mengubah
status waqafnya menjadi masjid karena tidak terdapat
perubahan selain sekedar sebutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar