Minggu, 01 Maret 2015

001-Kenapa kita harus bermadhab?

ara bahasa artinya adalah tempat
untuk pergi. Berasal dari kata zahaba -
yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim
makan dan isim zaman dari akar kata
tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah
sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil
kesimpulan hukum dari kitabullah dan
Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita
maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Adapula yang memberikan pengertian
mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih
khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih
mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih
lain, yang menghantarkannya memilih
sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-
Ahadits adh-Dha’ifah serta orang-orang yang
sefaham dengannya melontarkan kritik
kepada orang-orang yang bertaqlid dan
menyatakan bahwa taqlid dalam agama
adalah haram. Mereka juga mengkategorikan
pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab
asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang
berbeda-beda dalam mencetuskan hukum
setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat
yang berbilangan) yang terlarang dalam
agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah
ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )
Mereka juga tidak segan-segan lagi
mengatakan bahwa madzhab empat adalah
bid'ah yang di munculkan dalam agama dan
hasil pemikiran madzhab bukan termasuk
dari bagian agama. Bahkan ada juga yang
mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa
kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah
kitab yang menjadi tembok penghalang kuat
untuk memahami al-Qur'an maupun Sunnah
dan menjadikan penyebab mundur dan
bodohnya umat.
Namun yang aneh dan lucu, justru mereka
kerap kali mengutip pendapat-pendapat
ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin
Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-
Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm,
Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain,
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar
al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu
Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-
Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-
Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka
berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas
adalah orang yang salah memilih jalan
karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.
Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-
Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau
bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia
mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama
di atas juga akan masuk neraka karena
melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-
ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur'an
dan Sunnah Rasulallah menurut mereka?
Sebuah pertanyaan yang tidak butuh
jawaban, akan tetapi difikirkan dan
direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh
dari syahwat dan sikap fanatik yang
berlebihan.
Jika di amati dengan seksama, orang-orang
yang menolak taqlid sebenarnya juga sering
bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari
Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta
mengatakan bahwa haditsnya shahih karena
telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits
terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim.
Bukankah hal tersebut juga bagian dari
bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah
juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama
pengikut madzhab (asy-Syafi'i)? Kenapa
mereka ingkar sebagian dan percaya
sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti
pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-
Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan
sangat fanatik dan sangat berlebihan, di
namakan apa?
Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa
orang Islam harus berijtihad dan mengambil
hukum langsung dari al-Qur'an dan Sunnah
tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun.
Pemahaman seperti ini muncul akibat dari
kebodohan mereka memahami dalil al-Qur'an
dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam
terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga
tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan
umat Islam berijtihad sendiri sama dengan
menghancurkan agama dari dalam, karena
hal itu, tentu akan membuka pintu masuk
memahami hukum dengan ngawur bagi orang
yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria
mujtahid).
Yang sangat lucu di zaman sekarang,
terutama di Indonesia, banyak orang yang
membaca dan mengetahui isi al-Qur'an dan
Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu
mereka dengan lantang menentang hasil
ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama
salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga,
mereka semua sesat dan ahli neraka.
Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon
yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi
faktor penyebab ingkar mereka.
Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat
menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas
memahami hukum dari teks al-Qur'an
maupun Hadits secara langsung) harus
memenuhi kriteria berikut: handal dibidang
satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab,
mampu membedakan kata musytarak
(sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail
huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu
Nahwu), mengetahui ma'na-ma'na huruf
istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal
di bidang isi kandungan al-Qur'an, asbab
nuzul (latar belakang di turunkannya ayat),
nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-
Qur'an yang dirubah atau di ganti), muhkam
dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak
dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-
Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum
mukhalafah. Serta juga handal di bidang
hadits Rasulallah baik di bidang dirayah
(mushthalah hadits atau kritik perawi hadits)
dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk
mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-
kriteria di atas tidak terpenuhi, maka
kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti
mujtahid.
Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu
gerbang ijtihad telah tertutup, karena
kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka
sampai hari kiyamat. Namun secara realita,
siapakah sekarang ini ulama yang mampu
masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi'i,
Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan
lain-lain. Adakah doktor-doktor syari'at
zaman sekarang yang dapat di sejajarkan
dengan ulama-ulama pengikut madzhab
seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan
lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar
dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka
mendakwahkan diri berijtihad?
ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang
belum sampai derajat mujtahid adalah
berdasar:
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
ﻓَﺎﺳْﺄَﻟﻮﺍ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻻ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Bertanyalah kalian semua kepada orang
yang mempunyai pengetahuan, jika kamu
tidak mengetahui.”
Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat
tersebut memerintahkan bagi orang yang
tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk
ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan
mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat
bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok
pertama tentang kewajiban orang awam
(orang yang belum mempunyai kapasitas
istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti
orang alim yang mujtahid.
senada dengan ayat diatas didalam Qur`an
surat At-Taubah ayat 122;
ﻓَﻠَﻮْﻟَﺎ ﻧَﻔَﺮَ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﻓِﺮْﻗَﺔٍ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ﻟِﻴَﺘَﻔَﻘَّﻬُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ
ﻭَﻟِﻴُﻨْﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﻮْﻣَﻬُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺟَﻌُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺤْﺬَﺭُﻭﻥَ ‏( 122 )
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.( 122)
2. Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan
tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat
Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan
keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli
fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan
Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama
diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada
yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif
sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah
semua sahabat. Di antaranya juga ada
mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak
mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath)
dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat
banyak.
Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin
Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin
‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti
menyampaikan dalil fatwanya.
3. Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila
menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya
hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan
berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang
dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti
pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak
mungkin karena dia harus menggunakan
semua waktunya untuk mencari, berfikir dan
berijtihad dengan dalil yang ada untuk
menjawab masalahnya dan mempelajari
perangkat-perangkat ijtihad yang akan
memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan
profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai.
Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah
kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu
kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah
bid’ah yang paling berbahaya yang dapat
menghancurkan agama”.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh,
yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73,
Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. )
Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:
1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-
istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Haram bagi orang yang mampu dan
syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai
sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada
ulama yang memenuhi kriteria atau syarat
mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik,
asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-
Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam
madzhab yang melarang orang lain bertaqlid
kepada mereka adalah sebagaimana yang
diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan
tersebut ditujukan kepada orang-orang yang
mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits,
dan bukan bagi yang tidak mampu, karena
bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak
tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan
al-Kubra 1/62. )
Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam
Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan taqlid,
karena haram yang dimaksudkan menurut
beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad
sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika
menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah
al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-
Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm
tentang keharaman taqlid. ( Al-la
Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi
Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )
Dalam keyakinan orang-orang yang
bermadzhab, antara taqlid dan
ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah
sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa
atau istilah yang membedakannya. Namun,
menurut orang-orang yang anti taqlid,
meyakini adanya perbedaan antara dua
bahasa tersebut sehingga jika mereka
mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti
Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin
al-Albani dan lain-lain maka menurut
mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan
bukan taqlid. Karena menurut pehaman
mereka, taqlid adalah mengikuti imam
madzhab yang akan selalu diikuti, meski
imam madzhab tersebut salah atau bisa di
sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah
demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak
berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas,
pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad
Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang
tamu yang datang kepada belaiau. Tamu
tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa
ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’.
Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu
tersebut untuk membuktikan apa perbedaan
antara dua kata tersebut, apakah secara
bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan
mengambil referensi dari kitab lughat ata
kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut
tidak mampu membuktikan pernyataannya
tersebut.
Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-
Buthi, kami juga menantang orang-orang
yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga
mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain
dalam tulisan dan pidato-pidato mereka,
apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba'?
Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka
klaim tersebut perlu di buktikan secara
ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi
umat.
Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah,
sebuah karya apik yang menolak kebathilan
orang-orang yang anti-madzhab dengan
argumen-arguman yang kuat. Termasuk di
dalamnya terdapat catatan perdebatan yang
terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan
Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.
Sekilas tentang 4 Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin
Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa
sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M.
Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan
dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah
An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang
ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar
kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal
abad kedua hijriah dan banyak belajar pada
ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi
Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari
nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab
Hanafi adalah nama dari kumpulan-
kumpulan pendapat-pendapat yang berasal
dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya
serta pendapat-pendapat yang berasal dari
para pengganti mereka sebagai perincian dan
perluasan pemikiran yang telah digariskan
oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil
dari pada cara dan metode ijtihad ulama-
ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga
mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh
terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As
Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-
Istihsan, Ijma’ dan Uruf.
Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai
berikut:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183
H)
b. Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158
H)
c. Muhammad bin Hasn bin Farqad as
Syaibani (132-189 H)
d. Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana
Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak),
kemudian tersebar ke negara-negara Islam
bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab
Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir,
Turki, Syiria dan Libanon.
Dan mazhab ini dianut sebagian besar
penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan,
Muslimin India dan Tiongkok.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan
pendapat-pendapat yang berasal dari Imam
Malik dan para penerusnya di masa sesudah
beliau meninggal dunia.
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah:
Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada
tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya
dalam kalangan umat Islam beliau lebih
dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam
Malik terkenal dengan imam dalam bidang
hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama
Madinah. Yang menjadi guru pertamanya
ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga
belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan
Ibnu Syihab Az Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang
fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam
Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz,
bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan
hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan
diperjelas sampai tujuh belas pokok (dasar)
yaitu:
• Nashshul Kitab
• Dzaahirul Kitab (umum)
• Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
• Mafhum muwafaqah
• Tanbihul Kitab, terhadap illat
• Nash-nash Sunnah
• Dzahirus Sunnah
• Dalilus Sunnah
• Mafhum Sunnah
• Tanbihus Sunnah
• Ijma’
• Qiyas
• Amalu Ahlil Madinah
• Qaul Shahabi
• Istihsan
• Muraa’atul Khilaaf
• Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan
Pengembangan Mazhabnya
Di antara ulama-ulama Mesir yang
berkunjung ke Madinah dan belajar pada
Imam Malik ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin
Muslim.
2. Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-
Utaqy.
3. Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdul
Hakam.
5. Asbagh bin Farj al-Umawi.
6. Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Hakam.
7. Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-
Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan
mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
1. Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-
Qurthubi.
2. Isa bin Dinar al-Andalusi.
3. Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4. Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As
Sulami.
5. Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6. Asad bin Furat.
7. Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang
terkenal sesudah generasi tersebut di atas
adalah sebagai berikut:
1. Abdul Walid al-Baji
2. Abdul Hasan Al-Lakhami
3. Ibnu Rusyd Al-Kabir
4. Ibnu Rusyd Al-Hafiz
5. Ibnu ‘Arabi
6. Ibnul Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab
Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah,
kemudian tersebar sampai saat ini di
Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan
Kuwait.
3.Mazhab Syafi’i.
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang
keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin
Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina)
tahun 150 H bersamaan dengan tahun
wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi
Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim
bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam
Syafi’i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia
tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an
barulah mempelajari bahasa dan syi’ir;
kemudian beliau mempelajari hadits dan
fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam;
berdasarkan atas masa dan tempat beliau
mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim;
yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi
Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu
mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup
di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan
Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul
Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan
kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi
induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i:
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai
Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum
sysra’ adalah:
1. Al-Kitab.
2. Sunnah Mutawatirah.
3. Al-Ijma’.
4. Khabar Ahad.
5. Al-Qiyas.
6. Al-Istishab.
Ulama-ulama yang terkemudian yang
mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab
Syafi'i, antara lain :
* Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
* Imam Bukhari
* Imam Muslim
* Imam Nasa'i
* Imam Baihaqi
* Imam Turmudzi
* Imam Ibnu Majah
* Imam Tabari
* Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
* Imam Abu Daud
* Imam Nawawi
* Imam as-Suyuti
* Imam Ibnu Katsir
* Imam adz-Dzahabi
* Imam al-Hakim
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab
Syafi’i
Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh
umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia,
Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan,
Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak,
Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China,
Sunni-Rusia dan Yaman.
4. Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad
pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam
yang banyak berkunjung ke berbagai negara
untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain:
Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan
beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000
hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam
mengistinbatkan hukum adalah:
1. Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
2. Fatwa sebagian Sahabat.
3. Pendapat sebagian Sahabat.
4. Hadits Mursal atau Hadits Doif.
5. Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad
bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul
Muwaaqi’in.
Pengembang-pengembang Mazhabnya
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan
mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai
berikut:
1. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram;
dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa
Mazhabi Ahamd.
2. Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-
Marwazi yang mengarang kitab As Sunan
Bisyawaahidil Hadis.
3. Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan
nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan
termasuk ashab Ahmad terbesar yang
mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak
langkah Imam Ahmad yang menyebarkan
mazhab Hambali, di antaranya:
1. Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi
yang mengarang kitab Al-Mughni.
2. Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi
pengarang Assyarhul Kabiir.
3. Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu
Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-
Fataawa.
4. Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab
I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul
Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh
yang membela dan mengembangkan mazhab
Hambali.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali.
Awal perkembangannya, mazhab Hambali
berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam
waktu yang sangat lama. Pada abad XII
mazhab Hambali berkembang terutama pada
masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As
Su’udi.
Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi
pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai
penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab,
Palestina, Siria dan Irak.
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar